Senin, 18 Juli 2011

NASIB RAKYAT KECIL

keberpihakan terhadap rakyat miskin??
Komisioner Komisi Independen Anggaran KH Masdar F Mas'udi menilai Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang terus meningkat belum bisa memenuhi hak untuk rakyat miskin. Jika negara bercita-cita atas keadilan seharusnya pemerintah bersungguh-sungguh berpihak kepada rakyat miskin melalui anggaran. Itupun harus disertai dengan revolusi di birokrasi.

"Pemihakan terhadap keadilan dan nasib rakyat miskin dan termarjinal masih jauh memadai melalui APBN tiap tahun yang terus meningkat," katanya dalam diskusi Kesejahteraan Sebuah Mimpi yang Tergadaikan, di Jakarta, Sabtu (4/12).

Menurut Masdar, visi keberpihakan pada rakyat miskin pada anggaran juga belum cukup, jika reformasi  birokrasi hanya sebatas retorika. Pasalnya,  birokrasi dipimpin oleh orang-orang yang ditunjuk dengan pendekatan politis. "Jadi harus ada revolusi birokrasi atau turun mesin birokrasi," tandasnya

Seharusnya, lanjut Masdar, penempatan dan rekrutmen SDM di birokrasi harus mempertimbangkan kemampuan intelektual dan karakter keberpihakan kepada kesejahteraan rakyat. Namun persoalan yang ada beranjak pada persoalan birokrasi yang sangat lemah pada kualitas.
sumber: http://www.primaironline.com/berita/politik/perlu-revolusi-birokrasi-demi-keberpihakan-pada-rakyat-miskin

Minggu, 17 Juli 2011

http://members.fortunecity.com/edicahy/selectedworks/surbakti.html

Pendahuluan
Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Biasanya jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga ketakutan kawan-kawan untuk menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional), tujuh ribu rupiah misalnya. Karena kawan-kawan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan: "UMR = Rp 4.000,-, kalau saya menuntut Rp 7.000,- maka saya melanggar hukum, menuntut hal yang tidak wajar, berlebihan dan terlalu banyak. Dan kalau saya melanggar hukum, maka saya akan berurusan dengan polisi atau tentara!"Benarkah pemikiran semacam itu? Untuk menjawabnya atau membantu kawan-kawan menemukan jawabannya, maka di bawah ini akan diuraikan tentang proses penciptaan hukum, pengertian dasar tentang hukum, hukum di tengah perkembangan masyarakat, hukum pada umumnya di Indonesia dan cara pandang kita atau analisa kita terhadap hukum perburuhan di Indonesia. Materi ini tidak dimaksudkan untuk mendorong kita menjadi ahli hukum, melainkan membantu kita untuk dapat menempatkan hukum pada posisi dan cara pandang yang benar, agar dengan demikian kita juga dapat menggunakan hukum sebagai salah satu alat dalam perjuangan kaum buruh di Indonesia.
Proses Penciptaan HukumPada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan. Apakah maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali pertama ini tentang proses penciptaan hukum.
1. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Keadilan
Sekarang marilah kita perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang diri dan kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari perbandingan ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua kehidupan tersebut, di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan antar individu manusia akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal bersama dengan manusia lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada situasi ini, apabila tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan tidak beres dan tidak tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan menindas dan memperlakukan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga kemudian peraturan-peraturan yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar kesewenang-wenangan tersebut dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih adil diantara mereka. Sehingga fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat.
2. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Kepentingan
Di sisi lain terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah, maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan tanah tersebut. Orang-orang 'miskin' itu bekerja dan sepenuhnya hidup tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur masyarakat, maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi isi hukum tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang lain) bisa dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak, maka ia dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa yang dia inginkan.
Sehingga pada sisi ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum seperti inilah yang terus berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya sudah sedemikian banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan perwakilan seperti DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala penciptaan hukum dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena masyarakatnya masih sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul dan bermusyawarah menciptakan suatu peraturan tertentu).Pengertian Dasar Tentang Hukum Dari uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud dengan hukum ialah suatu rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya ketertiban, di mana pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.
Jadi sesungguhnya hukum adalah salah satu norma dalam masyarakat, seperti juga norma agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang lebih tegas daripada norma yang lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat pemaksa yaitu hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan dan terasa oleh pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman ini diterapkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan lain sebagainya. Nah, sekarang tergambarlah sudah, bahwa apabila kita menyebutkan 'hukum', maka hal itu bukan saja berarti sekumpulan kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal, tetapi ada juga lembaga-lembaga ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga berarti:
  1. Buku-buku yang berisi pasal-pasal mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;
  2. Lembaga-lembaga penegakkan dan pembentuk hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan, kepolisian, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain;
  3. Manusia penegak hukum, misalnya: masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara, dan lain-lain.
Oleh karena itu, hukum barulah dapat ditegakkan apabila faktor-faktor tersebut secara selaras dan disiplin menerapkan hukum. Sia-sia sajalah apabila kita memiliki peraturan-peraturan yang sempurna, tetapi hakim masih bisa disogok, atau polisi masih sewenang-wenang. Atau seluruh perangkat telah sempurna bekerja, tetapi masyarakat sama sekali tidak mengindahkannya atau tidak mematuhinya. Sehingga dapat dikatakan, hukum baru dapat ditegakkan apabila seluruh subyek hukum menjalankan fungsinya. Untuk dapat dipatuhi, maka hukum haruslah menjamin keadilan untuk masyarakat yang akan menjalankannya. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah apakah hukum kita telah menjamin keadilan untuk seluruh rakyat? Karena, apabila hukum tidak menjamin keadilan, maka akan terjadi banyak keresahan-keresahan dalam masyarakat. Hal itu mensyaratkan bahwa haruslah terjadi perubahan atau reformasi hukum.

HUKUM NIKAH SIRI DI INDONESIA

PIDANA terhadap nikah siri
Usulan pemerintah untuk mempidanakan nikah siri mengundang beragam reaksi.
Belum lama ini Kementerian Agama menyerahkan RUU Peradilan Agama tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami, dan kawin kontrak kepada presiden untuk diajukan ke DPR.
Menurut rancangan undang-undang itu, orang-orang yang tidak melaporkan pernikahan secara hukum terancam hukuman penjara maksimal tiga bulan dan denda maksimal Rp 5 juta.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nasaruddin Umar mengatakan perubahan ini diusulkan karena akhir-akhir ini semakin banyak penyalahgunaan pernikahan siri dan mut'ah atau kawin kontrak, sehingga nasib wanita dan anak-anak hasil pernikahan tersebut tidak terjamin.
"Dalam Islam pernikahan itu sakral dan suci, bukan hanya kontrak antara manusia dengan manusia, tetapi juga dengan Tuhan. Ada kecenderungan sekarang ini di kalangan masyarakat yang melakukan nikah siri atau kawin mut'ah. Begitu gampangnya mereka melakukan perkawinan, tetapi juga begitu mudahnya melakukan perceraian," kata Nasaruddin.
Dia menambahkan meningkatnya praktek ini dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan gelombang perceraian yang sangat tinggi, yaitu sekitar 200 ribu orang per tahun di antara 2 juta orang yang menikah.
Padahal menurut Nasaruddin sebelumnya angka perceraian rata-rata tiap tahun hanya sekitar 50.000 orang.
Selain itu pasangan yang melakukan nikah siri atau mut'ah berarti pernikahan mereka tidak didaftarkan secara hukum sehingga anak yang dilahirkan sulit mendapatkan akte kelahiran, yang akan menjadi bukti dasar berbagai dokumen resmi kelak.
Dokumen itu diperlukan untuk mendapatkan berbagai tunjangan kesra, asuransi maupun warisan.
"Perkawinan sebebas-bebasnya tanpa syarat itu harus kita atur, terutama kawin mut'ah," jelas Nasaruddin.
Ia menambahkan mencegah perbuatan zina selama ini dipakai sebagai alasan untuk membolehkan kawin mut'ah.
"Tapi bagaimana bila istri yang dikawini itu hamil dan memiliki anak sementara pernikahannya dianggap selesai. Itu adalah pelecehan kemanusiaan," tambah Nasaruddin.
Nasaruddin mengakui memang menurut hukum Islam kawin siri atau nikah bawah tangan maupun kawin mut'ah tidak dilarang, tetapi dia menambahkan risiko pernikahan yang tidak disahkan secara hukum itu lebih banyak mudharatnya karena merugikan wanita dan anak-anak.

Komentar MUI

Majelis Ulama Indonesia mengaku belum memutuskan apakah akan mendukung RUU ini.
Tetapi Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat KH Maruf Amin mengatakan bila RUU itu sudah resmi diajukan pihaknya akan mengkaji dampak penerapannya dengan lebih jauh.
Smber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/02/100215_nikahsiri_story.shtml